MORUT – Ratusan pekerja mitra PT Agro Nusa Abadi (ANA) di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah (Sulteng), terkena dampak dari kondisi yang dialami perusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Mereka tidak bisa lagi mendapat penghasilan dari perusahaan karena tidak ada pekerjaan panen buah sawit yang dapat mereka lakukan. Hal itu terjadi karena aksi para klaimer lahan sawit PT ANA, yang memanen buah secara sepihak.
Menurut Ketua Serikat Pekerja (SP) PT ANA, Taufik Latuo, perusahaan tempatnya bekerja (PT ANA) terpaksa tidak mempekerjakan lagi ratusan pekerja mitra. Menurutnya, selain karena luasan lahan sawit yang dipanen para pekerja menyusut secara signifikan, keamanan di lapangan juga sangat tidak tidak memungkinkan.
“Sudah hampir sebagian besar kebun sawit PT ANA dimasuki para klaimer. Mereka tidak sungkan-sungkan lagi memanen buah sawit,” kata Taufik Latuo, akhir Desember lalu. Dikatakannya, ratusan pekerja yang tidak lagi bekerja sama dengan perusahaan itu umumnya para “pengangkong”, yaitu pekerja mitra yang bertugas membawa tandan buah segar (TBS) yang sudah dipanen menuju ke tempat pengumpulan hasil (TPH).
Kata Taufik, dengan sangat terpaksa para pekerja tidak lagi dipekerjakan perusahaan untuk memanen dan mengangkut buah. Banyak juga dari mereka yang sudah kembali ke kampung halamannya.
“Ada juga isu mutasi, pekerja dipindahkan ke wilayah lain karena kegiatan di PT ANA sangat jauh berkurang karena sebagian besar lahan sudah di-klaim oknum-oknum yang mengaku sebagai pemilik hak atas tanah,” ujarnya.
Sebagai ketua serikat pekerja, Taufik amat menyayangkan situasi ini. Ia berharap perusahaan cepat bisa beroperasi normal sehingga para pekerja merasa aman dan aktif seperti biasa. “Sebagian besar karyawan merupakan warga lokal di sekitar perkebunan PT ANA. Sedangkan yang warga rantauan, juga berat meninggalkan kebun karena mereka sudah nyaman bekerja di PT ANA,” terang Taufik.
Kebanyakan karyawan PT ANA sudah memiliki masa kerja rata-rata 10 tahun bahkan lebih. Sejak maraknya aksi para klaimer, mereka sudah tidak bisa lagi mendapat penghasilan tambahan.
“Sejak aksi klaimer marak dan ikut memanen buah, karyawan hanya terima gaji pokok saja yang dipakai hidup selama satu bulan. Padahal sebelumnya, premi itu bisa mereka tabung untuk sekolah dan masa depan anak-anak mereka,” ungkapnya.
Kalau melihat potensi di perkebunan sawit PT ANA, Taufik mengakui sudah cukup bahkan berlebih untuk kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Yang penting, kondisi operasional di lapangan normal.
Hal senada disampaikan Novrianus. Mandor panen di salah satu afdeling PT ANA ini mengaku pasrah dengan kebijakan perusahaan yang tidak lagi mempekerjaan teman-temannya sesama pekerja mitra.
“Saya hanya khawatir, beberapa pekerja yang dirumahkan akan saling mengajak untuk melakukan perlawanan kepada klaimer, begitu kemungkinan paling buruknya,” sambung Novrianus.
Novrianus bekerja di PT ANA sudah 11 tahun. Ia dan keluarganya sangat betah bekerja di salah satu anak perusahaan Astra Agro Lestari Tbk tersebut.
“Saya merasakan kenyamanan bekerja di PT ANA. Sebelum-sebelumnya saya bekerja di tempat lain, paling lama bertahan 2-3 tahun. Nanti di sini lumayan lama. Belum pernah kerja di kebun sawit, baru kali ini,” ujarnya.
Kenyamanan yang dirasakan Novrianus, akhir-akhir ini mulai tak ada lagi. Terutama setahun terakhir. Ini tak lain akibat kemunculan para klaimer.
Sebagai mandor panen yang sehari-hari bertugas memanen dan mengepul buah, Novrianus dan karyawan lainnya sangat tertekan saat bertemu klaimer di kebun sawit. Tidak jarang Novrianus mengalah dengan para klaimer yang juga memanen buah secara sepihak.
“Kalau dulu tidak ada masalah begini. Sekarang, ada-ada saja keluhan teman-teman. Karena sering ada laporan klaimer datang memanen.
Hampir di semua blok sudah dimasuki,” katanya.
Meski kepikiran untuk melawan para klaimer karena merasa geram, tapi ada instruksi dari manajemen untuk menghindari konflik.
“Kita tidak boleh melawan. Kita tahan diri, kita redam. Tapi tetap lapor ke pimpinan kendala yang kami temui di lapangan,” ujarnya.
“Kadang-kadang saat kami lagi bekerja di kebun, terus disuruh keluar dan pindah oleh klaimer. Sampai saat ini tak ada bentrok terjadi. Karena kami memang menghindar. Jangan sampai ada kontak fisik,” sambung Novrianus.
Jumlah buah yang dipanen saat ini, sangat jauh berkurang jumlahnya. Akibatnya para pekerja tidak lagi mendapat upah tambahan.
“Sejak marak aksi klaimer hampir 1 tahun terakhir, kami terima gaji pokok saja. Meski demikian, kami tetap termotivasi, karena manajemen perusahaan tetap memperhatikan kami. Walaupun tidak capai target, tapi gaji pokok tetap dibayar full. Tunjangan beras dan kesehatan juga masih kami dapatkan,” ungkap pria beranak dua ini.
Novrianus dan teman-teman lainnya berharap bisa cepat selesai masalah klaimer. Supaya mereka kembali bekerja seperti sedia kala. Dan lebih penting juga, perlu ada keamanan di lokasi kebun. Supaya para klaimer tidak seenaknya datang ambil buah.
“Paling ramai klaimer datang memanen, di akhir pekan. Mulai dari hari Jumat sampai Minggu,” kata Novrianus.
Saat berdebat dengan karyawan, para klaimer bersikeras memanen buah. Karena mereka mengaku mempunyai dasar legalitas.
“Suratnya di HP mereka. Diperlihatkan begitu saja ke kami. Karena kami tidak mau terlibat bentrok, kami pindah ke blok lain untuk memanen buah,” tandas Novrianus.(*)